skip to main |
skip to sidebar
Oleh: Davida
Yohanes, seorang putra petani miskin berhasil meraih peringkat kedua
siswa terbaik sekabupaten dan berhak mendapatkan beasiswa penuh dari
pemerintah kabupaten untuk melanjutkan kuliahnya di pulau Jawa. Sebuah kesempatan emas yang selalu dinanti-nantikan oleh siswa yang lain.
Penghargaan ini bukanlah kegembiraan bagi Yohanes, tapi pergumulan berat. Keluarga sangat ingin dia menerima tawaran beasiswa tersebut, namun di
lain pihak, Yohanes sudah bernazar kepada Tuhan untuk menjadi hamba-Nya
dan masuk ke sekolah teologi. Dia juga memiliki keyakinan akan panggilan Tuhan untuk bekerja di ladang-Nya. Tetapi jika Yohanes masuk sekolah teologi, keluarga Yohanes tidak
menjamin bisa membiayai, walaupun dalam hati pihak keluarga sebenarnya
ingin juga anak lelaki satu-satunya itu menjadi hamba Tuhan.
Yohanes yakin Tuhan tahu keadaan ekonomi keluarganya. Sejak kelas 1 SMA, Yohanes telah menggumulkan hal ini. Tetapi Tuhan malah memberikan jawaban yang lain. Beasiswa merupakan jawaban yang dia inginkan, tetapi mengapa bukan untuk sekolah teologi? Apakah ini bukan kehendak Tuhan, Yohanes menjadi hamba-Nya? Akan tetapi pergumulan itu tetap tidak melemahkan suara panggilan Tuhan dalam dirinya. Yohanes melepaskan beasiswa ke sekolah umum dan memilih bersekolah di sebuah sekolah teologi di ibu kota provinsinya.
Berbekal sedikit tabungan hasil memanenkan cengkeh dari kebun
tetangganya dan sedikit pemberian uang dari orang tua, Yohanes
mendaftarkan diri di sekolah teologi. Satu tahun pertama dia lewati,
dan puji Tuhan, walau entah dengan cara apa, orang tuanya bisa
mengiriminya sedikit uang untuk bertahan hidup di asrama. Sampai akhirnya tidak ada kiriman lagi dari kampung dan utang di sekolah pun menumpuk. Yohanes tidak patah semangat, dia yakin Tuhan tidak pernah diam.
Libur panjang tiba. Dapur asrama tutup, tetapi asrama tetap boleh ditempati. Uang Yohanes hanya cukup untuk membeli sabun dan odol selama liburan. Untuk mendapat makan siang, Yohanes membantu sebuah warung kecil sebagai pencuci piring. Jika warung itu sudah tutup, Yohanes pergi ke rumah dosen yang ada di
kompleks kampusnya untuk menyapu halaman, atau memotong rumput, atau
mencucikan mobil, atau melakukan apa saja yang bisa dikerjakannya.
Dosen-dosen yang melihat kerajinannya itu pun dengan sukacita memberikan
uang saku ala kadarnya, walaupun Yohanes tidak memintanya.
Saat ada tawaran dari sebuah distributor kecil untuk menjajakan kecap ke
pelosok kota, walaupun hanya dengan berjalan kaki, Yohanes pun tidak
menolak. Dia melakukan itu semua karena yakin itulah cara Tuhan memberikannya berkat. Upah dari menjajakan kecap itu, walaupun tidak banyak, diharapkan dapat dipakai untuk mencicil utang kuliahnya.
Liburan usai. Saatnya pembayaran uang kuliah. Tabungan Yohanes jauh dari cukup untuk membayar uang kuliah. Orang tuanya pun tetap tidak mengirimkan uang.
Suatu siang, dia mendapatkan surat peringatan dari pengurus sekolah. Jika dalam satu minggu utang kuliah tidak dibayar, dia harus meninggalkan asrama. Mulai sejak diterimanya surat peringatan tersebut, dia tidak boleh lagi mengikuti kuliah dan tidak lagi mendapat jatah makan.
Tulang-tulang Yohanes lemas. Rasa sakit dalam hatinya menggeliat. Ingin protes, tetapi mengingat seluruh kebaikan Tuhan dalam hidupnya
membuat Yohanes yakin bahwa Tuhan pasti sedang merancangkan sesuatu yang
indah baginya. Dia tetap yakin ini panggilan Tuhan sehingga rasa sakit, rasa kuatir, dan rasa cemas itu tidak membuatnya menyerah.
Sejak diterimanya surat itu, Yohanes tidak keluar kamar kecuali ke kamar kecil. Dia hanya mengisi perutnya dengan air putih. Hari kedua pergumulannya, pintu kamarnya diketuk. Dua orang temannya masuk membawakan sepiring nasi dan sayur. Yohanes kaget mengapa temannya itu bisa membawakan dia makanan, karena
nasi, sayur, serta lauk sudah dijatah dari dapur, jadi tidak mungkin ada
yang lebih. Ternyata teman-temannya mengumpulkan seorang demi seorang satu sendok makan nasi dan sayur jatah mereka untuk Yohanes. Air mata Yohanes kembali menetes karena keindahan yang sudah Tuhan tunjukkan pada dia.
Karena tidak boleh lagi mengikuti kuliah, Yohanes menghabiskan waktu
untuk berdoa dan mempersiapkan hati untuk meninggalkan kampus
tercintanya itu. Tuhan mungkin ingin aku menjadi hamba-Nya tanpa berlama-lama menghabiskan waktu di sekolah teologi ini. Begitu pikir Yohanes selama masa pergumulannya.
Hari berlalu. Besok dia harus segera meninggalkan asrama ini. Yohanes sudah berusaha meminta keringanan dari pengurus sekolah, tetapi tidak ada jalan keluarnya. Dia mengemasi pakaian dan bukunya ke dalam kopor tua yang terbuat dari kayu, bikinan ayahnya. Ketegaran seorang Yohanes runtuh saat dia harus memasukkan semua buku pelajaran dan Alkitab tuanya. "Tuhan, apakah memang Engkau tidak berkenan jika aku ingin belajar
banyak lagi tentang Engkau dan firman-Mu? Tetapi Tuhan, jika ini
kehendak-Mu, tolong kuatkan hatiku. Aku tidak mengharapkan mukjizat,
hanya kekuatan dan topangan tangan-Mu," doa Yohanes dalam hatinya.
Yohanes masih berkemas saat pintu kamarnya diketuk.
"Nes, kamu dipanggil Pak bendahara," teriak sebuah suara dari luar pintu kamarnya.
"Pak bendahara pasti mau nagih utang karena besok hari terakhir
tenggang yang diberikan. Ah ..., saya sudah siap. Tuhan, Engkau yang
panggil saya kemari, dan Engkau pula yang meminta saya untuk
meninggalkan kampus ini. Tetapi aku akan terus melayani-Mu walau tanpa
sekolah teologi sekalipun."
"Selamat siang, Pak," salam Yohanes dengan suara pelan.
"Siang, Yohanes!" sahut pak bendahara dengan suaranya yang berwibawa.
"Pak, saya mau pamit. Besok subuh saya akan meninggalkan kampus ini," kata Yohanes lagi dengan suara yang kali ini lebih tegar.
"Mengapa kamu mau pergi? Kamu tidak percaya Tuhan pasti tolong kamu?"
tanya pak bendahara sembari menyerahkan sebuah amplop surat.
"Buka dan bacalah surat itu," pinta pak bendahara.
Dengan tangan sedikit gemetar, Yohanes membuka surat itu.
Dibacanya setiap kalimat di dalamnya sampai berulang kali.
Sebuah yayasan penginjilan di Jakarta menulis surat kepada pengurus sekolah. Mereka mengatakan akan melunasi semua utang perkuliahan Yohanes dan membiayai seluruh kebutuhan kuliahnya sampai lulus!
Keindahan itu sungguh memesonakan Yohanes. Tuhan sungguh luar biasa. Sekali lagi, diperkenankan-Nya Yohanes mengenal Dia, yang sudah memanggilnya dengan cara yang sungguh indah.
Yohanes akhirnya dapat melanjutkan kuliahnya sampai lulus.
Siapa yang sudah memberitahukan tentang kesulitan Yohanes kepada para pengurus yayasan tersebut? Para pengurus sekolah tidak mau memberitahukan rahasia itu kepada Yohanes. Sampai hari ini, rahasia itu tetap menjadi rahasia bagi Yohanes, yang
saat ini telah menjadi seorang pendeta dan menjadi ketua sinode sebuah
organisasi gereja di Indonesia.
*) Kesaksian ini ditulis berdasarkan kesaksian Bapak Yohanes kepada penulis.
Pesan dari kisah ini:
Ingatlah akan seluruh kebaikan yang telah Tuhan lakukan dalam hidup kita. Yakinlah dengan pasti bahwa Tuhan telah merancangkan sesuatu yang indah bagi anak-anak yang dikasihi-Nya. Tuhan tidak pernah diam dan Tuhan pasti akan membuka jalan untuk menolong kita dengan cara-Nya yang ajaib!! Praise the Lord!!
*Selengkapnya..